Upaya pelestarian bahasa dan budaya Jawa di Suriname
terus diupayakan. Salah satu cara pelestarian itu adalah dengan mendirikan Java
Village. Java Village merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk menyimpan
atau mengoleksi sejumlah alat kesenian, perabot rumah tangga, alat pertanian
dan benda lain yang menggambarkan kehidupan orang Jawa.
Krjogja.com melaporkan dari kegiatan kunjungan
bupati Bantul beberapa waktu yang lalu, "AKU seneng banget.Ora mung ketemu kanca-kanca, nanging tanpa
iki Jawa bakal ilang." (Saya merasa bahagia sekali. Bukan sekadar bertemu
teman-teman, tapi tanpa semua ini Jawa akan hilang). Ungkapan bernada prihatin
itu dikemukakan Wakil Kepala Distrik Commewijne Renee Tjokrodikoro saat
peresmian Java Village, suatu siang. Apa yang menyebabkan Renee mengungkap
kebahagiaan sekaligus merasa prihatindengan adanya 'RumahJawa'?
Sebagai generasi kedua keturunan Jawa di Suriname,
Renee layak merasa prihatin. Pasalnya saat ini sudah banyak keturunan Jawa yang
tidak lagi berbicara dalam Bahasa Jawa, meski secara
ngoko.Lingkungan dan
pendidikan yang menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa nasional, menyebabkan
generasi ketiga-keempat keturunan Jawa di Suriname mulai langka yang bisa
berbahasa Jawa.
"Di saat anak-anak muda keturunan Jawa
kehilangan Jawanya, Java Village diharapkan akan memudarkan kekhawatiran
generasi tua sekarang ini. Di sini kelak, generasi muda bisa belajar kembali
tentang Jawa, leluhurnya," papar Renee.
Kalimat demi kalimat itu mengharukan Bupati Bantul
Hj Sri Surya Widati yang mengujungi Suriname dalam rangka tilik sedulur
sekaligus misi investasi dan promosi pariwisata dan meresmikan 'Java
Village'.MeskiJava Villageyang dimaksud hanyalahsebuah bangunan
rumah panggung dari kayu berukuran sekitar 9 x 7 meter dengan teras depan yang
cukup luas dan teras belakang. Namun di dalam ruangan tersebut pelbagai
perlengkapan pertanian, rumahtangga bahkan juga permainan anak-anak Jawa dan
peralatan membatik. Ada ani-ani, gathul, siwur, cuwo, kendhil, theklek, jaran
kepang, gawangan untuk membatik dan tentu juga gamelan dan wayang, sumbangan
dari Pemkab Bantul. Jika peresmian ditandai dengan penyerahan miniatur wayang
lengkap dengan dalangnya oleh Bupati Bantul kepada Wakil Kepala Distrik
Commewijne maka Sri Sultan Hamengku Buwono X menghadiahkanminiatur Tugu Yogya dari perak dan asosiasi
perajin Apikri menyerahkan wajah Gadjah Mada.
Commewijne memang istimewa bagi keturunan Jawa di
Suriname. Di distrik inilah masyarakat Jawa yang dibawa Hindia Belanda dulu
pertamakali dilabuhkan, lebih seabad silam.Sepasang theklek raksasa dibuat sebagai tetenger kehadiran itu, di
samping kantor kepala distrik. Di seberang jalannya terdapat rumah kuna yang di
luarnya dipasangi senthir dan gembor raksasa. Konon, alat penerang dan alat
menyiram tanaman itu dulu adalah di antara bawaan orang Jawa ke Suriname. Jika
di kawasan itu kemudian dihadirkan Java Village, menurut Renee karena di
kawasan Museum Nieuw Amsterdam yang akan menjadi fokusnya dengan pelbagai
rencana.
Tetapi di tengah terpaan globalisasi dan kian
terbukanya hubungan dengan dunia luar serta lingkungan dan pendidikan yang
sudah berbeda, apakah masih akan ada generasi muda yang mengujungi dan belajar
di Java Village?
"Saya yakin bisa dan akan banyak yang datang.
Karena masyarakat keturunan Jawa sesungguhnya selalu ingin tahu tentang
leluhurnya. Kini mereka bisa belajar Jawa di Java Village," tandas
Direktur Arisp Nasional Suriname, Rita Tjinfu kepada KR. Rita bahkan yakin dan
optimis, etnis lain juga akan dengan senang hati mengunjungi dan belajar di
Java Village. Jadi, kehadiran ‘Rumah Jawa’ ini diakui Rita Tjinfu, tetap saja
akan memiliki pesona tersendiri bagi masyarakat Suriname.
Share this post
0 Response to "Belajar Jawa di 'Java Village' Suriname"
Post a Comment
mugi panjenengan kepareng paring panyaruwe saha wawasan
0 Response to "Belajar Jawa di 'Java Village' Suriname"
Post a Comment
mugi panjenengan kepareng paring panyaruwe saha wawasan